Saya punya pengalaman spiritual cukup menarik melalui mimpi. Sekitar tahun 2005, atasan saya di kantor (Kasie) naik lift, lalu lift-nya anjlok dari lantai 6 ke lantai 1. Sehari kemudian beliau izin tidak masuk kantor karena dadanya sakit akibat peristiwa tersebut. Konon beliau terkena serangan jantung akibat goncangan keras yang membuatnya sangat shock.
Selama seminggu, beliau izin sakit tidak masuk kantor. Semua kolega kantor telah menjenguk ke rumahnya, kecuali saya. Entah kenapa waktu itu saya belum sempat menengok ke rumahnya. Setelah sepekan, ada info bahwa beliau sudah mulai pulih kembali dan mungkin pekan depannya akan berkantor seperti biasa.
Pada hari Minggu sekitar pukul 03.00 dini hari, saat tertidur lelap, telepon rumah saya berdering-dering. Saat saya angkat, ternyata dari kawan sejawat yang mengabarkan bahwa atasan saya tersebut telah meninggal dunia sekitar pukul 23.30 WIB. Saya kaget dan sangat menyesal belum sempat menjenguk hingga ajal menjemput beliau. Sebagai bawahan, saya merasa banyak salah yang belum dimaafkan almarhum (alm).
Di tengah penyelasan itu, lalu saya memanjatkan doa agar Allah menerima almarhum sebagai ahli sorga dan mengirimkan bacaan Alfatihah untuknya. Tak lama berselang, saya tertidur dan bermimpi bertemu beliau sambil bersalaman, lalu saya memimta maaf atas segala kesalahan.
Saat saya bersalaman dalam mimpi itu, saya melihat tangan kanan almarhum berwarna putih dan saya merasakan sangat empuk, sambil wajahnya tersenyum sebagai isyarat beliau menerima permohonan maaf saya. Begitu bangun subuh, saya merasa sangat lega karena “bertemu” dengan almarhum, meski hanya melalui mimpi.
Tentu itu pengalaman tak terlupakan. Apalagi pengalaman spiritual melalui mimpi. Pengalaman serupa pasti juga dialami pembaca. Yap, mimpi memang bukan sekedar “bunga-bunga” tidur. Mimpi itu kerja “psikologis” dan juga “spiritual” yang patut mendapatkan perhatian. Melalui mimpi, kita bisa melakukan atau mengalami sesuatu yang tidak mungkin pada saat terjaga menjadi mungkin, seperti yang dikatakan oleh Sigmund Freud melalui bukunya Intrepretation of Dream.
Sebagai contoh, kita bermimpi berkencan dengan seorang artis cantik dunia. Bertemu dan main bola bareng dengan Ronaldo, bintang bola dunia asal Portugal. Pun pula kita bisa bertemu dan bercengkerama dengan orang tua kita atau guru kita yang telah lama tiada. Semua itu “serba mungkin” melalui mimpi.
Bahkan, tidak sedikit orang-orang shaleh mimpi bertemu Rasulullah, lalu beliau menyampaikan beberapa pesan. Sebuah kebahagiaan yang tak terhingga karena “bertemu” dengan manusia termulia (khairul anam) di planet ini. Nabi berkata: “Barangsiapa melihatku dalam mimpi maka ia akan bertemu denganku dalam keadaan terjaga dan setan tidak dapat menyerupaiku.” (HR Bukhari).
Dalam perspektif psikologi, mimpi adalah kerja-kerja mental. Mimpi menggambarkan situasi psikologis seseorang yang sebenarnya. Bisa disebut pula, mimpi itu gambaran dari kondisi psikologis dalam kehidupan nyata. Meminjam istilah Freud, ekspresi yang terdistorsi atau sebenarnya dari keinginan-keinginan yang terlarang yang diungkapkan dalam keadaan terjaga sebagai pemenuhan kebutuhan.
Sementara menurut Ibnu Arabi, mimpi merupakan bagian dari imajinasi, yaitu tempat penampakan wujud-wujud spiritual, para malaikat dan ruh, serta bertemunya konsep-konsep murni dan data indera sebagai event ruhani. Bagi Ibnu Arabi, mimpi selain terkait dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari, juga ada yang bersifat simbolik dan non simbolik.
Demikian juga Ibnu Arabi memandang bahwa mimpi dapat menjadi sumber pengetahuan. Para nabi dan rasul tidak jarang mendapatkan wahyu juga melalui mimpi. Hal sama para ulama, waliyullah, dan orang-orang shaleh menjadikan mimpi sebagai salah satu media komunikasi secara spiritual. Artinya mimpi adalah cermin kualitas diri yang dapat dibaca secara spiritual.
Dari uraian tersebut jelas bahwa mimpi adalah kerja-kerja mental dan spiritual. Dalam pandangan kaum sufi, seseorang dapat dinilai kualitas dirinya dari kualitas mimpi-mimpinya. Jika kita masih bermimpi bertemu dengan artis seksi, berkencan dengan bintang film, bermesra ria dengan sang idola, dan seterusnya, berarti ranah mentalnya masih sebatas itu, masih pada wilayah kesenangan fisik.
Untuk mendapatkan mimpi-mimpi indah, memiliki simbol suci sebagai artikulasi spiritual, maka hal yang perlu dilakukan setiap hari adalah memulai dengan menata hati dan membina pikiran secara positif (posotive thinking). Demikian juga perilaku kita harus dihiasi dengan akhlak mulia, dan seluruh jiwa difokuskan pada jalur ketaatan kepada-Nya. Sebaliknya kita harus menjaga hati dan pikiran dari hal-hal buruk.
Jika itu sudah dilakukan, maka kita bisa sampai pada level spiritual yang tinggi. Apalagi disertai dengan amalan-amalan khusus, bukan tidak mungkin mimpi-mimpi kita akan menjadi sumber pengetahuan. Mimpi apa kita tadi malam? Wallahu a’lam.
Thobib Al-Asyhar, Dosen Psikologi Islam SKSG Universitas Indonesia, Kasubdit Kelembagaan dan Kerjasama DIKTIS.