Seorang ayah muda menceritakan kepada saya perihal pertanyaan yang diajukan anaknya, yang tahun ini kali pertama berniat menjalankan puasa penuh (dari Subuh hingga Maghrib). Pertanyaannya sederhana: Puasa itu ringan atau berat? Tapi, musti mikir agak lama untuk menjawabnya: mencoba mendudukkan konteksnya seperti apa terlebih dahulu.
Namun, untuk menghindari lamanya menunggu jawaban, akhirnya saya menjawab sekenanya. Puasa itu berat. Di dalam puasa ada unsur menahan. Oleh sebab itu, puasa adalah kuat-kuatan menahan. Siapa yang tahan, dia yang akan menang. Siapa yang tahan tidak makan, tidak minum, dia akan menang. Siapa yang tahan tidak emosi, dia akan menang.
Puasa itu menyatakan “tidak” kepada yang “iya”. Makan dan minun adalah sesuatu yang dibolehkan (iya) bahkan dibutuhkan bagi tubuh manusia. Namun, ketika seseorang puasa, makai ia akan “tidak” terhadap sesuatu yang boleh itu (iya). Sewajarnya manusia, pasti dia tidak akan menyia-nyiakan sesuatu yang diperbolehkan, termasuk makan dan minum serta berhubungan intim. Namun, dalam waktu tertentu, semua yang diperbolehkan itu ditangguhkan, ditahan terlebih dahulu. Jadi, menahan itu berat. Hanya orang-orang yang kuat saja yang mampu bertahan dan menahan (berat).
Itu jawaban akal-akalan saya. Namun, saya sendiri tidak puas dengan jawaban tersebut. Pertanyaan anak teman saya selalu berputar-putar di kepala saya. Akhirnya, saya beranikan membuka kitab-kitab tafsir yang sederhana. Pertama, adalah Tafsir Al-Syahrastani yang berjudul Mafatih al-Asrar wa Mashabih al-Abrar karya Muhammad Abd Al-Karim Asy-Syahrastani (w. 548 H). Kedua, Tafsir Al-Qur’an al-Karim wa I’rabuhu wa Bayanuhu karya Syekh Muhammad ‘Ali Taha Ad-Durrah (w. 2007 M).
Dalam Tafsirnya, Asy-Syahrastani menjelaskan bahwa puasa bukanlah syariat yang dikhususkan untuk umat Islam, tetapi juga diwajibkan kepada umat-umat sebelum umat Islam, sebagaimana QS. Al-Baqarah/2:183. Penjelasan tersebut—masih menurut Asy-Syahrastani—menunjukkan bahwa puasa adalah ibadah yang berat bagi badan (manusia). Namun, puasa menjadi mudah atau ringan pelaksanaannya karena kewajiban puasa ini ditimpakan kepada semua umat (bi ‘umumi fardhihi). Kaidah yang berlaku biasanya adalah al-uswah takhaffa al-masyaqqah (adanya preseden/contoh puasa sebelumnya, yang dilakukan oleh umat-umat sebelum umat Islam meringankan (beratnya) ibadah puasa). Kaidah tersebut berlaku di banyak peristiwa. Misalnya saat kita mendapatkan tugas dari pimpinan, tugas itu terasa gampang dan ringan bila sudah pernah ada preseden / contohnya terlebih dahulu. Presenden tersebut bisa dipelajari dan menjadi modal untuk menjalankan tugas.
Hal senada juga diungkapkan oleh Syekh Muhammad Ali Taha Ad-Durrah dalam tafsirnya saat menafsirkan frasa kama kutiba ‘ala alladzina min qablikum (sebagaimana diwajikan atas orang-orang sebelum kamu). Orang-orang yang dimaksud adalah al-umam (umat-umat) dan para nabinya sejak nabi Adam hingga sekarang. Menurut Syekh Muhammad Ali Taha Ad-Durrah puasa sesungghnya adalah ibadah yang purba (terdahulu) yang oleh Allah tidak satu umatpun dilewatkan untuk diwajibkan berpuasa, sebagaimana umat sekarang diwajibkan puasa. Kenapa begitu? Karena puasa adalah ibadah yang berat (‘ibadatun syaqqatun).
Di sinilah Ad-Durrah memberikan pernyataan yang menarik. Pernyataannya adalah Asy-Syai’u asy-syaaqqu idza ‘amma sahula ‘amaluhu. Artinya sesuatu yang berat, bila diumumkan (dibebankan kepada banyak orang) maka sesuatu yang berat itu akan menjadi ringan dalam melaksanakannya.
Masih dalam tafsirnya, Ad-Durrah juga menceritakan bahwa konon (qiila) umat Nasrani dahulu juga diwajibkan berpuasa Ramadan, sebagaimana umat Islam sekarang ini. Mereka dulu puasa Ramadan saat musim panas atau musim dingin sehingga menyulitkan atau memberatkan mereka dalam melakukan perjalanan atau memberatkan mereka dalam mencari pencahariaan. Kisah ini menyatakan betapa beratnya ibadah puasa.
Dengan membaca kedua tafsir tersebut, terjawabkan pertanyaan anak teman saya itu, bahwa puasa adalah ibadah yang berat, tapi menjadi ringan karena dijalankan oleh semua umat Islam dan umat-umat sebelumnya.
Perintah puasa dalam QS. Al-Baqarah/2:183 juga didahului dengan sapaan Allah kepada orang-orang yang beriman, ini adalah sapaan yang mulia dan lembut (akramu washfin wa althafu ‘ibaratin). Sapaan ini adalah sapaan yang sifatnya umum, yakni kepada mereka yang beriman, tua muda, laki-laki perempuan, kaya miskin, pintar bodoh. Semua kena khitab (perintah) ini. Saya tidak membayangkan jika gaya bahasa yang umum itu kemudian di-takhsis (dispesifikkan) lagi, misalnya ya ayyuhalladzina amanu fi Indunisiyya kutiba ‘alaikum as-siyam (wahai orang-orang yang beriman di Indonesia, diwajibkan bagi kamu berpuasa). Tentu puasa akan menjadi semakin berat, sebab hanya mukmin Indonesia saja yang menjalankannya, mukmin di negara lain tidak. Wallahu’alam bi ash-shawab.