Dalam mitologi Yunani, dikenal seorang tokoh jahat bernama Procrustes. Ia seorang raja yang menghabisi korbannya dengan cara paling kejam dan menyimpang dari kebiasaan. Dalam melancarkan aksinya, Procrustes mempersilakan orang yang hendak ia bunuh untuk berbaring di ranjang emas yang dia miliki. Procrustes memaksakan agar badan orang yang hendak dibunuh muat dengan ranjang emasnya. Jika tubuhnya melebihi panjang ranjang, ia akan memotong bagian tubuh yang menggantung (berlebih) di ujungnya atau meregangkan tubuh orang-orang yang terlalu pendek dengan cara dipukul.
Procrustes yang mempunyai istana di sisi jalan kota Athena dan Eleusis memberikan rasa nyaman kepada calon korbannya sebelum bertindak. Ia menyediakan makanan lezat, mempersilakan calon korban untuk menikmati keindahan istananya, dan terakhir bila malam hari telah tiba, maka ia akan mempersilahkan calon korbannya untuk bersenang-senang meniduri ranjang emas yang ia miliki. Padahal di sana ia akan mengakhiri hidup korbannya.
Sampai saat ini, ungkapan Ranjang Procrustes adalah sebuah metafora yang menunjukkan kesewenang-wenangan dalam memberlakukan setiap orang dengan standar baku. Dalam pengandaian yang demikian, setiap orang dituntut memiliki pikiran yang sama, hidup dalam kolam dan gerbong yang sama, dan bila tidak sama, bersiaplah menerima nasib seperti korban-korban Procrustes lainnya.
Membicarakan fenomena ini, mungkin kali ini kita dihadapkan pada permasalahan yang nyata. Karena bila kita lihat fenomena terutama di birokrasi, perusahaan negera, kampus perguruan tinggi, sindrom Procrustes dapat ditemukan. Sang pejabat cenderung untuk memilih staf yang satu gerbong dengannya, walaupun tidak terlalu memiliki kualifikasi yang memadai dan minim integritas. Sang pejabat akan berusaha semaksimal mungkin untuk mencari staf yang satu haluan dengannya walaupun akan melakukan pencederaan terhadap proses yang harusnya berjalan dengan fair.
Di sisi lain, bagi staf atau bawahan ada tuntutan untuk hanya mengejar standar pimpinan tanpa memperhatikan kondisi objektif di lingkungan kerjanya. Akibatnya, staf tersebut hanya akan ‘membenarkan dan membeo’ semua tindakan atasan. Orientasinya hanya mengejar pengakuan tanpa memperhatikan sikap kritis dan obyektif. Suara hati nurani menjadi tidak berarti.
Harus bagaimana?
Fenomena kesetiaan biasanya diterjemahkan sesuai dengan standar pimpinan, staf dipaksakan dan dituntut untuk mengikuti dan menyesuaikan dengan standar kesetiaan yang telah diminta pimpinan. Dan jika staf tak mampu menanggung tingginya standar pimpinan, maka sang pemimpin takkan segan untuk memotong setiap harapan dan potensi staf yang tidak sesuai dengan yang diharapkan atasan.
Lantas, sikap apa yang harus dilakukan oleh staf dalam menyikapi standar pimpinan yang telah ditetapkan? Sebagai staf, kita wajib bersikap patuh dan menjalankan standar tersebut sepanjang masih sesuai dengan norma dan ketentuan yang berlaku. Bila standar sudah keluar dari norma dan ketentuan yang berlaku, staf wajib untuk berani mengingatkan pimpinan. Setiap pembiaran terhadap standar yang di luar norma dan ketentuan hanya akan mengakibatkan instansi terjebak pada pelanggaran bahkan kejahatan.
Di kondisi seperti ini, tidak ada salahnya bila pimpinan mendengarkan staf dengan lebih bijak, sehingga tidak terjebak pada pemaksaan “kesetiaan buta” tanpa melihat apakah standar yang ia bangun sudah sesuai dengan ketentuan dan kepantasan. Begitu juga sebaliknya, seorang staf harus berani memantaskan diri dengan cara meningkatkan kemampuan sehingga masukan yang disampaikan menjadi mitra dan supporting strategis bagi pimpinan dalam mengambil kebijakan sehingga mereka tidak terjebak pada kondisi yang mengakibatkan tidak berjalannya sistem organisasi yang telah dibangun.
Kiranya tepat apa yang diungkapkan Muhammad Thaib (2021), bahwa ‘ketaatan kepada pemimpin bukanlah ketaatan mutlak tanpa batas’. Ia dibatasi dalam selain kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Selama pimpinan tidak memerintahkan untuk melakukan kemaksiatan, maka dia wajib ditaati.
Selain itu, kita juga harus berpikir, bahwa tujuan mulia organisasi adalah hal yang utama yang harus diraih, ketika dihadap-hadapkan antara kepentingan pribadi pimpinan dengan kepentingan organisasi yang lebih hakiki, maka staf harus lebih memilih kepentingan organisasi. Artinya, kepatuhan pada pimpinan akan hilang ketika pimpinan yang seharusnya bertugas untuk mengawal tercapai cita-cita dan tujuan yang hakiki sebuah organisasi telah melenceng dari ketentuan dan kepantasan.
Kerugian
Kerugian yang diperoleh akibat terlalu patuhnya staf menjalankan standar pimpinan yang tidak sesuai ketentuan dan terlalu mutlaknya pimpinan memberlakukan standarnya antara lain sebagai berikut:
Merusak sistem.
Presiden ke-8 Republik Indonesia Prabowo Subianto dalam sidang perdana Kabinet Merah Putih mengatakan, “ada pepatah yang mengatakan kalau ikan menjadi busuk, busuknya mulai dari kepala. Semua pejabat dari semua eselon dari semua tingkatan harus memberi contoh untuk menjalankan kepemimpinan pemerintahan yang sebersih bersihnya.”
Sikap dan peran pemimpin itu pasti berpengaruh kepada bawahannya, menjadi penguat sistem atau sebaliknya. Pimpinan yang tidak memiliki integritas dan hanya mencari keuntungan pribadi dengan cara menerapkan standar-standar tanpa melihat apakah standar tersebut laik dan pantas untuk diperjuangkan pasti ia akan merusak sistem yang telah dibangun. Karena akan timbul hal-hal aneh yang melanggar aturan akan dibiarkan ketika hal aneh tersebut dilakukan oleh orang atau kelompoknya, juga sebaliknya, ia akan segera bertindak dengan tegas dan terkesan adil bila pihak yang melakukan kesalahan bukan dari golongan atau kelompoknya, padahal kesalahan tersebut belum terlalu substansial.
Gumuh ketika dihadapkan kepada kebenaran
Terlalu mengikuti standar pimpinan tanpa sedikitpun melihat apakah standar tersebut membawa kepada kemaksiatan atau sudah sesuai dengan ketentuan bisa berakibat kita ‘gumuh’ dan tidak fasih dalam menyatakan kebenaran. Hal ini bisa terjadi ketika kita harus berbicara jujur sesuai dengan norma dan ketentuan yang berlaku, sementara kita paham apa yang sudah kita lakukan selama ini hanya ‘membenarkan dan membeo’ atas standar yang kita tahu belum tentu kebenarannya.
Untuk terhindarnya dari ‘kegumuhan’, maka tidak ada kata atau tindakan lain yang harus kita lakukan selain harus membudayakan sikap kritis dan tidak boleh menjadi pelaku atau pendukung perilaku membeo terhadap ketidakberesan, walaupun risiko yang mengancam begitu besar.
Kesetiaan, sulit didapat namun cepat hilang
Membangun sebuah kesetiaan adalah hal yang sulit, karena kesetiaan lebih erat terkait dengan hati dan karakter. berapapun investasi yang dibelanjakan oleh instansi untuk membangun kesetiaan, belum tentu bisa membeli atau membangun kesetiaan. Seandainya pun bisa terwujud belum tentu akan berlangsung secara lama karena ia akan menghilang ketika praktek dalam kantor tidak memihak pada pola pembangunan kesetiaan.
Pola Pembangunan kesetiaan sejatinya tidak akan bisa optimal diraih melalui kegiatan kegiatan instan yang dilakukan oleh instansi, banyak komentar peserta yang pernah mengikuti kegiatan menyatakan sebenarnya instansi tidak akan bisa mendapatkan kesetiaan ketika pemimpinnya tidak menciptakan keadilan, terutama keadilan dalam mendapatkan akses dan kesejahteraaan, selain itu kesetiaan juga tidak akan muncul ketika sikap yang dibangun pemimpin tidak dapat dijadikan panutan karena tidak mencerminkan integritas. Artinya sia sia anggaran besar digelontorkan untuk membangun kesetiaan, tanpa adanya keadilan dan integritas di dalam instansi tersebut, walaupun upaya upaya untuk itu tetap harus dilakukan.
Kesimpulan
Standar adalah hal yang sangat penting, apalagi ketika digunakan untuk hal yang beradab. Dalam sebuah instansi, sebuah standar harus dipedomani dan dijalankan, tanpa standar pasti akan terjadi kekisruhan dan subjektivitas yang tinggi, karena masing-masing orang dapat menerjemahkan sesuai dengan versinya masing-masing. Bahkan tanpa standar, adakalanya pihak-pihak tertentu akan memanfaatkan dan menelikung untuk mengambil keuntungan pribadi atau golongan di balik ketiadaaan standar. Standar yang baik pasti akan membawa pada kemaslahatan, karena bisa dijadikan pedoman.
Standar baik yang baru-baru ini terdengar dapat diperoleh dari arahan Presiden Prabowo Subianto tanggal 23 Oktober 2023, “kalau anda tidak puas dengan pejabat-pejabat di bawah anda, laporkan, kita segera ganti. Begitu banyak orang yang mau mengabdi. Tidak ada orang di sini yang kebal. Yang tidak patuh, tidak bekerja keras untuk bangsa dan negara dan rakyat, saudara saya beri wewenang, copot, suruh tinggal di rumah saja dari pada bikin susah kita.”
Jelas, arahan Bapak Presiden adalah standar yang harus dipegang dan dipedomani siapa pun, terutama Aparatur Pemerintah. “Siapa pun yang tidak bekerja keras untuk bangsa dan negara dan rakyat, suruh tinggal di rumah saja.”